Yusuf Jafar Rizali
D14100064
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Enzim merupakan zat yang dapat mempercepat suatu reaksi kimia pada proses metabolisme dalam tubuh. Ketika enzim tidak berfungsi dengan baik, maka proses metabolisme akan terhambat serta mengalami gangguan. Enzim disebut sebagai katalisator yang dapat mempercepat suatu reaksi kimia tanpa harus ikut bereaksi di dalamnya. Laju reaksi yang ditimbulkan oleh enzim tergantung pada suhu lingkungannya. Ketika suhu lingkungan tidak sesuai, maka enzim tidak dapat bekerja dengan baik.
Secara umum, sebagian besar enzim terbuat dari protein yang sangat peka terhadap perubahan suhu lingkungannya. Ketika suhu lingkungannya sesuai, enzim akan bekerja secara optimal. Namun ketika suhu lingkungannya tidak sesuai, maka enzim tersebut akan nonaktif, bahkan bisa terdenaturasi. Sehubungan dengan hal tersebut, maka sangat penting untuk mengetahui suhu yang tepat agar enzim dapat bekerja secara optimal.
Tujuan
Mengetahui pengaruh suhu dan lama perlakuan suhu terhadap aktivitas enzim urease dalam mengkatalisis reaksi kimia.
TINJAUAN PUSTAKA
Enzim
Enzim adalah senyawa protein yang dapat mempercepat atau mengkatalis reaksi kimia. Enzim berperan dalam mengubah laju reaksi, sehingga kecepatan reaksi yang dihasilkan dapat dijadikan ukuran keaktifan enzim (Gaman dan Sherington, 1992). Enzim hanya dapat bereaksi pada pH dan temperatur tertentu. Karena enzim adalah protein, maka enzim dalam pakan rentan terdenaturasi atau rusak oleh enzim pencernaan atau sesuatu yang dapat mengubah struktur enzim (Yangel, 2004).
Menurut fungsinya enzim dapat diklasifikasi menjadi 6 kelompok, yaitu oksireduktase, transferase, hidrolase, liase, isomerase, dan ligase. Enzim urease termasuk dalam kategori hidrolase. Hidrolasemengkatalisis pembelahan ikatan antara karbon dan beberapa atom lain dengan adanya penambahan air (Montgomery et al , 1993).
Ada empat sifat khas enzim (Montgomery et al , 1993), yaitu :
Sangat aktif walaupun dalam konsentrasi yang sangat rendah.
Sangat selektif.
Bekerja pada keadaan yang ringan ( tanpa suhu atau tekanan yang tinggi, tanpa logam yang umumnya beracun).
Hanya aktif pada selang suhu atau pH yang sempit (diluar selang ini enzim tidak dapat bekerja).
Enzim sebagai protein akan mengalami denaturasi jika suhunya dinaikkan. Akibatnya daya kerja enzim menurun. Pada suhu 45°C efek predominanya masih memperlihatkan kenaikan aktivitas sebagaimana dugaan dalam teori kinetik. Tetapi lebih dari 45°C menyebabkan denaturasi ternal lebih menonjol dan menjelang suhu 55°C fungsi katalitik enzim menjadi punah. Hal ini juga terjadi karena semakin tinggi suhu semakin naik pula laju reaksi kimia baik yang dikatalisis maupun tidak. Karena itu pada suhu 40oC, larutan tidak ada gumpalan, begitu juga pada suhu ruang, sedangkan pada suhu 100oC masih ada gumpalan – gumpalan yang menunjukkan kalau enzim rusak. Pada suhu ruang, enzim masih dapat bekerja dengan baik walaupun tidak optimum (Gaman & Sherrington, 1994).
Aktivitas Enzim
Ada beberapa faktor untuk menentukan aktivitas enzim berdasarkan efek katalisnya yaitu persamaan reaksi yang dikatalis, kebutuhan kofaktor, pengaruh konsentrasi substrat dan kofaktor, pH optimal, daerah temperatur, dan penentuan berkurangnya substrat atau bertambahnya hasil reaksi. Penentuan ini biasa dilakukan di pH optimal dengan konsentrasi substrat dan kofaktor berlebih, menjadikan laju reaksi yang terjadi merupakan tingkat ke 0 (zero order reaction) terhadap substrat. Pengamatan reaksinya dengan berbagai cara kimia atau spektrofotometri. Ada dua teori tentang mekanisme pengikatan substrat oleh enzim, yaitu teori kunci dan anak kunci (lock and key) dan teori induced fit (Wirahadikusumah, 1989).
Aktivitas enzim juga dipengaruhi oleh suhu. Untuk enzim, suhu optimal antara 35◦ C dan 40◦ C, yaitu suhu tubuh. Pada suhu di atas dan di bawah optimalnya, aktifitas enzim akan berkurang. Di atas suhu 50◦ C enzim secara bertahap menjadi inaktif karena protein terdenaturasi. Pada suhu 100◦ C semua enzim rusak. Pada suhu yang sangat rendah, enzim tidak benar-benar rusak tetapi aktivasinya sangat banyak berkurang (Gaman & Sherrington, 1994).
Kacang Kedelai
Protein kedelai mempunyai sifat-sifat khusus yaitu mempunyai kemampuan untuk mengikat air, mempunyai daya emulsi, pembentuk gel, pembentuk lapisan film, pembentuk adonan, dan pengental yang baik. Kandungan asam amino lisin yang tinggi pada kedelai berguna untuk suplementasi golongan serelia yang kandungan lisinnya rendah, sehigga mutu proteinnya menjadi lebih baik (Somaatmadja, 1964). Asam amino dibutuhkan untuk membantu produksi antibody hormone dan enzim (Flodin 1997). Kacang kedelai mempunyai rasa langu karena keberadaan enzim lipoksigenase. Enzim ini umumnya terdapat pada bagian lembaga pada kacang-kacangan. Pada kacang kedelai aktivitas enzim lipoksigenase lebih aktif daripada kacang tanah dan kacang hijau (Ketaren 1998). Enzim lipoksigenase mengkatalis oksidasi asam lemak tak jenuh sehingga menjadi tengik dan tidak stabil selama penyimpanan (Somatmadja, 1964). Pembentukan bau langu pada kacang kedelai mungkin terjadi akibat adanya aktivitas enzimatik dari lipokgenase (Wolf, 1975).
Kacang Tanah
Pengolahan kacang tanah dengan panas akan memperbaiki aroma, flavour, dan tekstur kacang tanah tetapi menurunkan daya tahan komponen minyak akibat rusaknya antioksidan alami. Sebagai besar ketengikan yang terjadi pada kacang tanah disebabkan karena minyak yang dikandungnya. Pengeluaran sebagian atau seluruh minyak akan membuat kacang tanah lebih tahan lama (Woodrof 1983).
Kacang Merah
Kacang jogo (Phaseolus vulgaris L) bukan merupakan tanaman asli Indonesia. Tanaman ini berasal dari Meksiko Selatan, Amerika Selatan dan dataran Cina. Selanjutnya tanaman tersebut menyebar ke daerah lain seperti Indonesia, Malaysia, Karibia, Afrika Timur, dan Afrika Barat. Di Indonesia, daerah yang banyak ditanami kacang jogo adalah Lembang (Bandung), Pacet (Cipanas), Kota Batu (Bogor), dan Pulau Lombok (Astwan, 2009).
Biji kacang jogo berwarna merah atau merah berbintik-bintik putih. Oleh karena itulah, dalam kehidupan sehari-hari kacang jogo juga disebut sebagai kacang merah (red kidney bean). Nama lain untuk kacang merah adalah kacang galing. Kacang merah hanya dimakan dalam bentuk biji yang telah tua, baik dalam keadaan segar maupun yang telah dikeringkan (Astwan, 2009).
Biasannya yang dimanfaatkan dari kacang merah adalah bijinya. Biji kacang merah merupakan bahan makanan yang mempunyai energi tinggi dan sekaligus sumber protein nabati yang potensial. Kacang merah dapat digunakan sebagai sayuran (sayur asam, sup), campuran salad, sambal goreng, kacang goreng, bahan dodol, wajik, dan aneka kue lainnya (Astwan, 2009).
Ureases
Ureases disebut juga urea amidohidrolases. Ureases merupakan enzim yang mengkatalis hidrolisis dari urea menjadi karbon dioksida dan ammonia : (NH2)2CO + H2O → CO2 + 2NH3. Aktivitas urease meningkat sebanding dengan peningkatan suhu dari 10 – 40° C. Aktivitas urease menjadi sangat tidak aktif apabila tanah dipanaskan selama 24 jam sehingga suhu mencapai 105° C. Suhu 10oC akan mempercepat reaksi dua kali atau tiga kali lebih cepat (Harrow and Mazur, 1954). Karakteristik urease yaitu pH optimum 7,4 suhu optimum 60˚C dengan spesifikasi enzimatis: urea dan hidroksi urea.
Urease ditemukan terutama dalam kuantitas besar pada jackbean, kedelai, biji tanaman, pada beberapa jaringan hewan dan pencernaan mikroorganisme. Urease juga ditemukan pada berbagai macam organisme seperti bakteri, jamur, dan tumbuhan tinggi. Urease pada lingkungan berperan dalam jalur sistem transportasi nitrogen (Jabri, 1995). Peran utama urease adalah menyediakan energi internal dan eksternal bagi organisme untuk menggunakan urea atau hidroksi urea sebagai sumber N (Suhartono, 1989).
Rumen
Sistem pencernaan pada sapi atau ruminansia lainnya lebih rumit daripada hewan mamalia lainnya. Lambung sapi merupakan lambung yang komplek yang terdiri dari empat bagian, yaitu paling depan disebut rumen, kemudian retikulum, omasum dan abomasum yang berhubungan dengan usus. Rumen merupakan lambung pencerna yang sangat penting karena di situ terdapat mikroflora dan mikrofauna yang sangat berperan dalam mencerna makanan dan metabolism. Aktivitas rumen yang paling penting adalah proses fermentasi makanan oleh mikroba yang mengubah karbohidrat menjadi asam lemak tidak jenuh (Volatil Fatty Acid = VFA), methan, karbondioksida dan sel mikroba itu sendiri. Asam lemak volatile (VFA) adalah asam propionate dan asam butirat yang merupakan sumber energy (Darmono, 2011).
Protein dalam makanan difermentasi menjadi asam amino dan amonia. Amonia dan produk lainnya bergabung dengan mikroba dan protein, kemudian amonia diserap melalui dinding rumen bersama asam amino, sebagian tidak diserap dan dibuang melalui usus. Unsur nitrogen lainnya didaur ulang dalam rumen oleh air ludah dan terbentuk urea yang berguna untuk energi tambahan. Tidak semua protein dalam makanan difermentasi. Protein yang tidak larut keluar melalui usus dan berguna sebagai enzim untuk pencernaan makanan dalam usus (Darmono, 2011).
Suhu Enzim Terdenaturasi dan
Faktor yang Mempengaruhi Kerja Enzim
Terdapat beberapa factor yang mempengaruhi kerja enzim. Faktor-faktor tersebut erat kaitannya dengan sifat enzim sebagai protein. Faktor-faktor tersebut diantaranya suhu, derajat keasaman (pH), hasil akhir produk, konsentrasi enzim dan substrat, serta zat penghambat (Firmansyah dkk, 2007).
Suhu
Enzim terbuat dari protein sehingga enzim dipengaruhi oleh suhu. Suhu mempengaruhi gerak molekul. Pada suhu optimal, tumbukan antara enzim dan substrat terjadi pada kecepatan yang paling tinggi. Pada suhu jauh di suhu optimal menyebabkan enzim terdenaturasi, mengubah bentuk, struktur, dan fungsinya. Pada suhu jauh di bawah suhu optimal, misalnya pada 0oC, enzim tidak aktif. Enzim pada manusia bekerja optimal pada suhu 35-40oC. Mendekati suhu normal tubuh. Adapun bakteri yang hidup di air panas memiliki enzim yang bekerja optimal pada suhu 70oC (Firmansyah dkk, 2007).
Derajat Keasaman (pH)
Seperti protein, enzim juga bekerja dipengaruhi oleh derajat keasaman lingkungan. Derajat keasaman optimal bagi kerja enzim umumnya mendekati pH netral, sekitar 6-8. Di luar rentang tersebut, kerja enzim dapat terganggu bahkan dapat terdenaturasi (Firmansyah dkk, 2007).
Hasil Akhir (Produk)
Jika sel menghasilkan produk lebih banyak dari yang dibutuhkan, produk yang berlebih tersebut dapat menghambat kerja enzim. Hal ini dikenal dengan feedback inhibitor. Jika produk yang berlebih habis digunakan, kerja enzim akan kembali normal. Mekanisme ini sangat penting dalam proses metabolisme, yaitu mencegah sel menghabiskan sumber molekul yang berguna menjadi produk yang tidak dibutuhkan (Firmansyah dkk, 2007).
Konsentrasi enzim
Pada reaksi dengan konsentrasi enzim yang jauh lebih sedikit daripada substrat, penambahan enzim akan meningkatkan laju reaksi. Peningkatan laju reaksi ini terjadi secara linier. Akan tetapi, jika konsentrasi enzim dan substrat sudah seimbang, laju reaksi akan relative konstan (Firmansyah dkk, 2007).
Konsentrasi substrat
Penambahan konsentrasi substrat pada reaksi yang dikatalis oleh enzim awalnya akan meningkatkan laju reaksi. Akan tetapi, setelah konsentrasi substrat dinaikkan lebih lanjut, laju reaksi akan mencapai titik jenuh, penambahan kembali konsentrasi substrat tidak berpengaruh terhadap laju reaksi. Pada keadaan laju reaksi jenuh oleh konsentrasi substrat, penambahan konsentrasi enzim dapat meningkatkan laju reaksi. Peningkatan laju reaksi oleh peningkatan konsentrasi enzim akan meningkatkan laju reaksi hingga terbentuk titik jenuh baru (Firmansyah dkk, 2007).
Zat Penghambat
Kerja enzim dapat dihambat oleh zat penghambat atau inhibitor. Terdapat dua jenis inhibitor, yaitu inhibitor kompetitif dan inhibitor nonkompetitif. Inhibitor kompetitif menghambat kerja enzim dengan cara berikatan dengan enzim pada sisi aktifnya. Oleh karena itu, inhibitor ini bersaing dengan substrat menempati sisi aktif enzim. Hal ini terjadi karena inhibitor memiliki struktur yang mirip dengan substrat. Enzim yang telah berikatan dengan inhibitor tidak dapat menjalankan fungsinga sebagai biokatalisator. Berbeda dengan inhibitor kompetitif, inhibitor non kompetitif tidak bersaing dengan substrat untuk berikatan dengan enzim. Inhibitor jenis ini akan berikatan dengan enzim pada sisi yang berbeda (bukan sisi aktif). Jika telah terjadi ikatan enzim inhibitor, sisi aktif enzim akan berubah sehingga substrat tidak dapat berikatan dengan enzim. Banyak ion logam berat bekerja sebagai inhibitor nonkompetitif, misalnya Ag+, Hg+, dan Pb+ (Firmansyah dkk, 2007).
MATERI DAN METODE
Materi
Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah wadah plastik, termometer, penangas air (waterbath) lemari es, timbangan analitik kasar, spoit 1 ml, dan lain-lain alat yang dibutuhkan. Sedangkan bahan yang digunakan adalah larutan urea 2%, kacang tanah, kacang merah, kacang kedelai, dan cairan rumen.
Metode
Masing-masing tepung kacang ditimbang sebanyak 1 gram dan dimasukan ke dalam wadah plastik/botol film kemudian ditutup. Larutan urea 2% sebanyak 2 ml dimasukan ke dalam botol film yang lain dan di tutup. Masing-masing sampel tepung kacang dan larutan urea dibiarkan selama 15 menit pada setiap perlakuan suhu. Perlakuan suhu yang digunakan yaitu 0, 4, 25, 50, dan 75 °C. Kedua botol tersebut dicampurkan dan dicatat reaksi yang terjadi. Waktu untuk perlakuan dihitung pada saat mulai pencampuran, yaitu 0, 5, 10, dan 15 menit.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Berdasarkan percobaan yang dilakukan, telah diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 1. Rumen
Waktu
Bau
0
-
5
-
10
-
15
-
Tabel 2. Kacang-kacangan
Bau
Waktu
Kacang Tanah
Kacang Merah
Kacang Kedelai
0
-
-
-
5
-
-
+
10
-
-
++
15
-
-
++
Tabel 3. Perlakuan Suhu Kacang Kedelai
Bau
Waktu
00
40
250
500
750
0
-
+
-
-
-
5
-
++
+
+
-
10
-
+++
++
++
-
15
-
+++
++
++
-
Keterangan :
- : tidak berbau
+ : sedikit berbau
++ : bau
+++ : sangat berbau
Pembahasan
Berdasarkan hasil yang diperoleh, tabel 1 menunjukkan bahwa cairan rumen yang diberi enzim urease tidak menghasilkan perubahan bau. Hal tersebut dapat disebabkan oleh enzim urease yang diberikan terlalu sedikit sehingga tidak dapat mempercepat reaksinya. Selain itu, cairan rumen sudah memiliki bau khas yang sangat pekat sehingga bau yang dihasilkan dari reaksi enzim urease tidak dapat mengalahkan bau khas rumen tersebut.
Tabel 2 memperlihatkan pengaruh enzim urease terhadap kacang-kacangan pada suhu ruang yang sama. Terlihat bahwa pada kacang tanah dan kacang merah tidak menghasilkan bau. Sedangkan pada kacang kedelai, 5 menit pertama sedikit berbau. Selajutnya ketika sudah 10 menit, kacang kedelai bertambah bau. Setelah itu, ketika sudah 15 menit kacang kedelai menjadi sangat berbau. Hal tersebut menunjukkan bahwa enzim urease lebih reaktif terhadap kacang kedelai dibandingkan dengan kancang tanah dan kacang merah.
Tabel 3 memperlihatkan pengaruh enzim urease terhadap kacang kedelai yang diberi perlakuan suhu. Kacang kedelai yang diberi perlakuan suhu 0oC dan 75oC tidak menghasilkan bau sama sekali. Sedangkan pada kacang kedelai dengan suhu 4oC, 25oC, dan 50oC sama-sama menghasilkan bau seiring berjalannya waktu. Hal tersebut dapat membuktikan bahwa enzim urease dapat bekerja mulai dari suhu 4oC sampai dengan 50oC.
Enzim terbuat dari protein sehingga enzim dipengaruhi oleh suhu. Suhu mempengaruhi gerak molekul. Pada suhu optimal, tumbukan antara enzim dan substrat terjadi pada kecepatan yang paling tinggi. Pada suhu jauh di suhu optimal menyebabkan enzim terdenaturasi, mengubah bentuk, struktur, dan fungsinya. Pada suhu jauh di bawah suhu optimal, misalnya pada 0oC, enzim tidak aktif. Enzim pada manusia bekerja optimal pada suhu 35-40oC. Mendekati suhu normal tubuh. Adapun bakteri yang hidup di air panas memiliki enzim yang bekerja optimal pada suhu 70oC (Firmansyah dkk, 2007).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa enzim dapat bekerja secara optimum pada suhu ruangan (25°C) dan akan terdenaturasi pada suhu diatas 75°C. Pada enzim urease, enzim dapat bekerja secara optimum hingga suhu 50 °C dan akan terdenaturasi pada suhu diatasnya. Aktivitas enzim akan terlihat seiring berjalannya waktu. Semakin lama waktunya, maka perubahan yang diakibatkan oleh enzim akan semakin terlihat.
DAFTAR PUSTAKA
Astwan, Made. 2009. Sehat dengan Kacang dan Biji-bijian. Jakarta; Penebar Swadaya.
Darmono. 2011. Tatalaksana Usaha Sapi Kereman. Yogyakarta; Kanisius.
Firmansyah, Riki dkk. 2007. Mudah dan Aktif Belajar Biologi. Bandung; Setia Purna Inves.
Flodin, N.W. 1997. The Metabolic Rolos, Pharmacology, and Toxicology of Lysine. J. Amcoll Nutr. 16:7-12.
Gaman, P.M. dan Sherington. 1992. Ilmu Pangan. PAU Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Harrow, B. And Mazur A. 1954. Biochemistry. Six Edition. W.B. Saunders Company: Philadelphia and London.
Jabri, E. 1995. Urease. (terhubung berkala)http://www.chom.uwec.edu(25 Maret 2012).
Ketaren, K.S. 1998. Teknologi Pengolahan Kedelai. Pustaka Sinar Utama, Jakarta.
Montgomery, R., R. L. Dryer, T. W. Conway and A.A. Spector. 1993. Biokimia Jilid 1. Edisi Keempat (Terjemahan: M. Ismadi and S. Dawiesah). GajahMada University Press., Yogyakarta.
Somaatmadja. 1964. Kedelai. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor.
Suhartono, M. T. 1989. Enzim dan Bioteknologi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor.Yangel, O. 2004. Food Legume. Tropical Product Institut, Lodon.
Wirahadikusumah, M. (1989). Biokimia: protein, enzim, dan asam nukleat. Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Wolf, W.J. 1975.Lipoxygenase and Flavor of Soybean Protein Products. J. Agr. Food Chem. 23 : 136-139
Woodroof, J.G. 1983. Peanut. The AVI Publishing Company, Inc, Westport, Connecticut.
Tags: enzim
Komentar
FasaPay Online Payment System
FasaPay Online Payment System
Statistik
36,735 hits
FasaPay Online Payment System
FasaPay Online Payment System
Kategori
0 comments:
Posting Komentar