Sabtu, Januari 10

Cara Penomoran Halaman pada Tugas Akhir (Skripsi)


AKTIVITAS ENZIM


Yusuf Jafar Rizali

D14100064

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

PENDAHULUAN



Latar Belakang

            Enzim merupakan zat yang dapat mempercepat suatu reaksi kimia pada proses metabolisme dalam tubuh. Ketika enzim tidak berfungsi dengan baik, maka proses metabolisme akan terhambat serta mengalami gangguan. Enzim disebut sebagai katalisator yang dapat mempercepat suatu reaksi kimia tanpa harus ikut bereaksi di dalamnya. Laju reaksi yang ditimbulkan oleh enzim tergantung pada suhu lingkungannya. Ketika suhu lingkungan tidak sesuai, maka enzim tidak dapat bekerja dengan baik.

Secara umum, sebagian besar enzim terbuat dari protein yang sangat peka terhadap perubahan suhu lingkungannya. Ketika suhu lingkungannya sesuai, enzim akan bekerja secara optimal. Namun ketika suhu lingkungannya tidak sesuai, maka enzim tersebut akan nonaktif, bahkan bisa terdenaturasi. Sehubungan dengan hal tersebut, maka sangat penting untuk mengetahui suhu yang tepat agar enzim dapat bekerja secara optimal.



Tujuan

            Mengetahui pengaruh suhu dan lama perlakuan suhu terhadap aktivitas enzim urease dalam mengkatalisis reaksi kimia.





















TINJAUAN PUSTAKA



Enzim

Enzim adalah senyawa protein yang dapat mempercepat atau mengkatalis reaksi kimia. Enzim berperan dalam mengubah laju reaksi, sehingga kecepatan reaksi yang dihasilkan dapat dijadikan ukuran keaktifan enzim (Gaman dan Sherington, 1992). Enzim hanya dapat bereaksi pada pH dan temperatur tertentu. Karena enzim adalah protein, maka enzim dalam pakan rentan terdenaturasi atau rusak oleh enzim pencernaan atau sesuatu yang dapat mengubah struktur enzim (Yangel, 2004).

Menurut fungsinya enzim dapat diklasifikasi menjadi 6 kelompok, yaitu oksireduktase, transferase, hidrolase, liase, isomerase, dan ligase. Enzim urease termasuk dalam kategori hidrolase. Hidrolasemengkatalisis pembelahan ikatan antara karbon dan beberapa atom lain dengan adanya penambahan air (Montgomery et al , 1993).

Ada empat sifat khas enzim (Montgomery et al , 1993), yaitu :

    Sangat aktif walaupun dalam konsentrasi yang sangat rendah.
    Sangat selektif.
    Bekerja pada keadaan yang ringan ( tanpa suhu atau tekanan yang tinggi, tanpa logam yang umumnya beracun).
    Hanya aktif pada selang suhu atau pH yang sempit (diluar selang ini enzim tidak dapat bekerja).

Enzim sebagai protein akan mengalami denaturasi jika suhunya dinaikkan. Akibatnya daya kerja enzim menurun. Pada suhu 45°C efek predominanya masih memperlihatkan kenaikan aktivitas sebagaimana dugaan dalam teori kinetik. Tetapi lebih dari 45°C menyebabkan denaturasi ternal lebih menonjol dan menjelang suhu 55°C fungsi katalitik enzim menjadi punah. Hal ini juga terjadi karena semakin tinggi suhu semakin naik pula laju reaksi kimia baik yang dikatalisis maupun tidak. Karena itu pada suhu 40oC, larutan tidak ada gumpalan, begitu juga pada suhu ruang, sedangkan pada suhu 100oC masih ada gumpalan – gumpalan yang menunjukkan kalau enzim rusak. Pada suhu ruang, enzim masih dapat bekerja dengan baik walaupun tidak optimum (Gaman & Sherrington, 1994).

Aktivitas Enzim

            Ada beberapa faktor untuk menentukan aktivitas enzim berdasarkan efek katalisnya yaitu persamaan reaksi yang dikatalis, kebutuhan kofaktor, pengaruh konsentrasi substrat dan kofaktor, pH optimal, daerah temperatur, dan penentuan berkurangnya substrat atau bertambahnya hasil reaksi. Penentuan ini biasa dilakukan di pH optimal dengan konsentrasi substrat dan kofaktor berlebih, menjadikan laju reaksi yang terjadi merupakan tingkat ke 0 (zero order reaction) terhadap substrat. Pengamatan reaksinya dengan berbagai cara kimia atau spektrofotometri. Ada dua teori tentang mekanisme pengikatan substrat oleh enzim, yaitu teori kunci dan anak kunci (lock and key) dan teori induced fit (Wirahadikusumah, 1989).

Aktivitas enzim juga dipengaruhi oleh suhu. Untuk enzim, suhu optimal antara 35◦ C dan 40◦ C, yaitu suhu tubuh. Pada suhu di atas dan di bawah optimalnya, aktifitas enzim akan berkurang. Di atas suhu 50◦ C enzim secara bertahap menjadi inaktif karena protein terdenaturasi. Pada suhu 100◦ C semua enzim rusak. Pada suhu yang sangat rendah, enzim tidak benar-benar rusak tetapi aktivasinya sangat banyak berkurang (Gaman & Sherrington, 1994).



Kacang Kedelai

            Protein kedelai mempunyai sifat-sifat khusus yaitu mempunyai kemampuan untuk mengikat air, mempunyai daya emulsi, pembentuk gel, pembentuk lapisan film, pembentuk adonan, dan pengental yang baik. Kandungan asam amino lisin yang tinggi pada kedelai berguna untuk suplementasi golongan serelia yang kandungan lisinnya rendah, sehigga mutu proteinnya menjadi lebih baik (Somaatmadja, 1964). Asam amino dibutuhkan untuk membantu produksi antibody hormone dan enzim (Flodin 1997). Kacang kedelai mempunyai rasa langu karena keberadaan enzim lipoksigenase. Enzim ini umumnya terdapat pada bagian lembaga pada kacang-kacangan. Pada kacang kedelai aktivitas enzim lipoksigenase lebih aktif daripada kacang tanah dan kacang hijau (Ketaren 1998). Enzim lipoksigenase mengkatalis oksidasi asam lemak tak jenuh sehingga menjadi tengik dan tidak stabil selama penyimpanan (Somatmadja, 1964). Pembentukan bau langu pada kacang kedelai mungkin terjadi akibat adanya aktivitas enzimatik dari lipokgenase (Wolf, 1975).



Kacang Tanah

            Pengolahan kacang tanah dengan panas akan memperbaiki aroma, flavour, dan tekstur kacang tanah tetapi menurunkan daya tahan komponen minyak akibat rusaknya antioksidan alami. Sebagai besar ketengikan yang terjadi pada kacang tanah disebabkan karena minyak yang dikandungnya. Pengeluaran sebagian atau seluruh minyak akan membuat kacang tanah lebih tahan lama (Woodrof 1983).



Kacang Merah

            Kacang jogo (Phaseolus vulgaris L) bukan merupakan tanaman asli Indonesia. Tanaman ini berasal dari Meksiko Selatan, Amerika Selatan dan dataran Cina. Selanjutnya tanaman  tersebut menyebar ke daerah lain seperti Indonesia, Malaysia, Karibia, Afrika Timur, dan Afrika Barat. Di Indonesia, daerah yang banyak ditanami kacang jogo adalah Lembang (Bandung), Pacet (Cipanas), Kota Batu (Bogor), dan Pulau Lombok (Astwan, 2009).

Biji kacang jogo berwarna merah atau merah berbintik-bintik putih. Oleh karena itulah, dalam kehidupan sehari-hari kacang jogo juga disebut sebagai kacang merah (red kidney bean). Nama lain untuk kacang merah adalah kacang galing. Kacang merah hanya dimakan dalam bentuk biji yang telah tua, baik dalam keadaan segar maupun yang telah dikeringkan (Astwan, 2009).

Biasannya yang dimanfaatkan dari kacang merah adalah bijinya. Biji kacang merah merupakan bahan makanan yang mempunyai energi tinggi dan sekaligus sumber protein nabati yang potensial. Kacang merah dapat digunakan sebagai sayuran (sayur asam, sup), campuran salad, sambal goreng, kacang goreng, bahan dodol, wajik, dan aneka kue lainnya (Astwan, 2009).







Ureases

            Ureases disebut juga urea amidohidrolases. Ureases merupakan enzim yang mengkatalis hidrolisis dari urea menjadi karbon dioksida dan ammonia : (NH2)2CO + H2O → CO2 + 2NH3. Aktivitas urease meningkat sebanding dengan peningkatan suhu dari 10 – 40° C. Aktivitas urease menjadi sangat tidak aktif apabila tanah  dipanaskan selama 24 jam sehingga suhu mencapai 105° C. Suhu 10oC akan mempercepat reaksi dua kali atau tiga kali lebih cepat (Harrow and Mazur, 1954). Karakteristik urease yaitu pH optimum 7,4 suhu optimum 60˚C dengan spesifikasi enzimatis: urea dan hidroksi urea.

Urease ditemukan terutama dalam kuantitas besar pada jackbean, kedelai, biji tanaman, pada beberapa jaringan hewan dan pencernaan mikroorganisme. Urease juga ditemukan pada berbagai macam organisme seperti bakteri, jamur, dan tumbuhan tinggi. Urease pada lingkungan berperan dalam jalur sistem transportasi nitrogen (Jabri, 1995). Peran utama urease adalah menyediakan energi internal dan eksternal bagi organisme untuk menggunakan urea atau hidroksi urea sebagai sumber N (Suhartono, 1989).



Rumen

            Sistem pencernaan pada sapi atau ruminansia lainnya lebih rumit daripada hewan mamalia lainnya. Lambung sapi merupakan lambung yang komplek yang terdiri dari empat bagian, yaitu paling depan disebut rumen, kemudian retikulum, omasum dan abomasum yang berhubungan dengan usus. Rumen merupakan lambung pencerna yang sangat penting karena di situ terdapat mikroflora dan mikrofauna yang sangat berperan dalam mencerna makanan dan metabolism. Aktivitas rumen yang paling penting adalah proses fermentasi makanan oleh mikroba yang mengubah karbohidrat menjadi asam lemak tidak jenuh (Volatil Fatty Acid = VFA), methan, karbondioksida dan sel mikroba itu sendiri. Asam lemak volatile (VFA) adalah asam propionate dan asam butirat yang merupakan sumber energy (Darmono, 2011).

Protein dalam makanan difermentasi menjadi asam amino dan amonia. Amonia dan produk lainnya bergabung dengan mikroba dan protein, kemudian amonia diserap melalui dinding rumen bersama asam amino, sebagian tidak diserap dan dibuang melalui usus. Unsur nitrogen lainnya didaur ulang dalam rumen oleh air ludah dan terbentuk urea yang berguna untuk energi tambahan. Tidak semua protein dalam makanan difermentasi. Protein yang tidak larut keluar melalui usus dan berguna sebagai enzim untuk pencernaan makanan dalam usus (Darmono, 2011).



Suhu Enzim Terdenaturasi dan

Faktor yang Mempengaruhi Kerja Enzim

            Terdapat beberapa factor yang mempengaruhi kerja enzim. Faktor-faktor tersebut erat kaitannya dengan sifat enzim sebagai protein.  Faktor-faktor tersebut diantaranya suhu, derajat keasaman (pH), hasil akhir produk, konsentrasi enzim dan substrat, serta zat penghambat (Firmansyah dkk, 2007).

    Suhu

Enzim terbuat dari protein sehingga enzim dipengaruhi oleh suhu. Suhu mempengaruhi gerak molekul. Pada suhu optimal, tumbukan antara enzim dan substrat terjadi pada kecepatan yang paling tinggi. Pada suhu jauh di suhu optimal menyebabkan enzim terdenaturasi, mengubah bentuk, struktur, dan fungsinya. Pada suhu jauh di bawah suhu optimal, misalnya pada 0oC, enzim tidak aktif. Enzim pada manusia bekerja optimal pada suhu 35-40oC. Mendekati suhu normal tubuh. Adapun bakteri yang hidup di air panas memiliki enzim yang bekerja optimal pada suhu 70oC (Firmansyah dkk, 2007).

    Derajat Keasaman (pH)

Seperti protein, enzim juga bekerja dipengaruhi oleh derajat keasaman lingkungan. Derajat keasaman optimal bagi kerja enzim umumnya mendekati pH netral, sekitar 6-8. Di luar rentang tersebut, kerja enzim dapat terganggu bahkan dapat terdenaturasi (Firmansyah dkk, 2007).

    Hasil Akhir (Produk)

Jika sel menghasilkan produk lebih banyak dari yang dibutuhkan, produk yang berlebih tersebut dapat menghambat kerja enzim. Hal ini dikenal dengan feedback inhibitor. Jika produk yang berlebih habis digunakan, kerja enzim akan kembali normal. Mekanisme ini sangat penting dalam proses metabolisme, yaitu mencegah sel menghabiskan sumber molekul yang berguna menjadi produk yang tidak dibutuhkan (Firmansyah dkk, 2007).

    Konsentrasi enzim

Pada reaksi dengan konsentrasi enzim yang jauh lebih sedikit daripada substrat, penambahan enzim akan meningkatkan laju reaksi. Peningkatan laju reaksi ini terjadi secara linier. Akan tetapi, jika konsentrasi enzim dan substrat sudah seimbang, laju reaksi akan relative konstan (Firmansyah dkk, 2007).

    Konsentrasi substrat

Penambahan konsentrasi substrat pada reaksi yang dikatalis oleh enzim awalnya akan meningkatkan laju reaksi. Akan tetapi, setelah konsentrasi substrat dinaikkan lebih lanjut, laju reaksi akan mencapai titik jenuh, penambahan kembali konsentrasi substrat tidak berpengaruh terhadap laju reaksi. Pada keadaan laju reaksi jenuh oleh konsentrasi substrat, penambahan konsentrasi enzim dapat meningkatkan laju reaksi. Peningkatan laju reaksi oleh peningkatan konsentrasi enzim akan meningkatkan laju reaksi hingga terbentuk titik jenuh baru (Firmansyah dkk, 2007).

    Zat Penghambat

Kerja enzim dapat dihambat oleh zat penghambat atau inhibitor. Terdapat dua jenis inhibitor, yaitu inhibitor kompetitif dan inhibitor nonkompetitif. Inhibitor kompetitif menghambat kerja enzim dengan cara berikatan dengan enzim pada sisi aktifnya. Oleh karena itu, inhibitor ini bersaing dengan substrat menempati sisi aktif enzim. Hal ini terjadi karena inhibitor memiliki struktur yang mirip dengan substrat. Enzim yang telah berikatan dengan inhibitor tidak dapat menjalankan fungsinga sebagai biokatalisator. Berbeda dengan inhibitor kompetitif, inhibitor non kompetitif tidak bersaing dengan substrat untuk berikatan dengan enzim. Inhibitor jenis ini akan berikatan dengan enzim pada sisi yang berbeda (bukan sisi aktif). Jika telah terjadi ikatan enzim inhibitor, sisi aktif enzim akan berubah sehingga substrat tidak dapat berikatan dengan enzim. Banyak ion logam berat bekerja sebagai inhibitor nonkompetitif, misalnya Ag+, Hg+, dan Pb+ (Firmansyah dkk, 2007).





MATERI DAN METODE



Materi

            Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah wadah plastik, termometer, penangas air (waterbath) lemari es, timbangan analitik kasar, spoit 1 ml, dan lain-lain alat yang dibutuhkan. Sedangkan bahan yang digunakan adalah larutan urea 2%, kacang tanah, kacang merah, kacang kedelai, dan cairan rumen.



Metode

            Masing-masing tepung kacang ditimbang sebanyak 1 gram dan dimasukan ke dalam wadah plastik/botol film kemudian ditutup. Larutan urea 2% sebanyak 2 ml dimasukan ke dalam botol film yang lain dan di tutup. Masing-masing sampel tepung kacang dan larutan urea dibiarkan selama 15 menit pada setiap perlakuan suhu. Perlakuan suhu yang digunakan yaitu 0, 4, 25, 50, dan 75 °C. Kedua botol tersebut dicampurkan dan dicatat reaksi yang terjadi. Waktu untuk perlakuan dihitung pada saat mulai pencampuran, yaitu 0, 5, 10, dan 15 menit.





























HASIL DAN PEMBAHASAN



Hasil

            Berdasarkan percobaan yang dilakukan, telah diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 1. Rumen

Waktu
  

Bau

0
  

-

5
  

-

10
  

-

15
  

-



Tabel 2. Kacang-kacangan

          Bau     

Waktu
  

Kacang Tanah
  

Kacang Merah
  

Kacang Kedelai

0
  

-
  

-
  

-

5
  

-
  

-
  

+

10
  

-
  

-
  

++

15
  

-
  

-
  

++



Tabel 3. Perlakuan Suhu Kacang Kedelai

  

  

  

Bau
  

  

Waktu
  

00

  

40

  

250

  

500

  

750

0
  

-
  

+
  

-
  

-
  

-

5
  

-
  

++
  

+
  

+
  

-

10
  

-
  

+++
  

++
  

++
  

-

15
  

-
  

+++
  

++
  

++
  

-





Keterangan :

-          : tidak berbau

+    : sedikit berbau

++   : bau

+++  : sangat berbau

Pembahasan

            Berdasarkan hasil yang diperoleh, tabel 1 menunjukkan bahwa cairan rumen yang diberi enzim urease tidak menghasilkan perubahan bau. Hal tersebut dapat disebabkan oleh enzim urease yang diberikan terlalu sedikit sehingga tidak dapat mempercepat reaksinya. Selain itu, cairan rumen sudah memiliki bau khas yang sangat pekat sehingga bau yang dihasilkan dari reaksi enzim urease tidak dapat mengalahkan bau khas rumen tersebut.

Tabel 2 memperlihatkan pengaruh enzim urease terhadap kacang-kacangan pada suhu ruang yang sama. Terlihat bahwa pada kacang tanah dan kacang merah tidak menghasilkan bau. Sedangkan pada kacang kedelai, 5 menit pertama sedikit berbau. Selajutnya ketika sudah 10 menit, kacang kedelai bertambah bau. Setelah itu, ketika sudah 15 menit kacang kedelai menjadi sangat berbau. Hal tersebut menunjukkan bahwa enzim urease lebih reaktif terhadap kacang kedelai dibandingkan dengan kancang tanah dan kacang merah.

Tabel 3 memperlihatkan pengaruh enzim urease terhadap kacang kedelai yang diberi perlakuan suhu. Kacang kedelai yang diberi perlakuan suhu 0oC dan 75oC tidak menghasilkan bau sama sekali. Sedangkan pada kacang kedelai dengan suhu 4oC, 25oC, dan 50oC sama-sama menghasilkan bau seiring berjalannya waktu. Hal tersebut dapat membuktikan bahwa enzim urease dapat bekerja mulai dari suhu 4oC sampai dengan 50oC.

Enzim terbuat dari protein sehingga enzim dipengaruhi oleh suhu. Suhu mempengaruhi gerak molekul. Pada suhu optimal, tumbukan antara enzim dan substrat terjadi pada kecepatan yang paling tinggi. Pada suhu jauh di suhu optimal menyebabkan enzim terdenaturasi, mengubah bentuk, struktur, dan fungsinya. Pada suhu jauh di bawah suhu optimal, misalnya pada 0oC, enzim tidak aktif. Enzim pada manusia bekerja optimal pada suhu 35-40oC. Mendekati suhu normal tubuh. Adapun bakteri yang hidup di air panas memiliki enzim yang bekerja optimal pada suhu 70oC (Firmansyah dkk, 2007).





















































KESIMPULAN



            Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa enzim dapat bekerja secara optimum pada suhu ruangan (25°C) dan akan terdenaturasi pada suhu diatas 75°C. Pada enzim urease, enzim dapat bekerja secara optimum hingga suhu 50 °C dan akan terdenaturasi pada suhu diatasnya. Aktivitas enzim akan terlihat seiring berjalannya waktu. Semakin lama waktunya, maka perubahan yang diakibatkan oleh enzim akan semakin terlihat.













































DAFTAR PUSTAKA



Astwan, Made. 2009.  Sehat dengan Kacang dan Biji-bijian. Jakarta; Penebar Swadaya.

Darmono. 2011. Tatalaksana Usaha Sapi Kereman. Yogyakarta; Kanisius.

Firmansyah, Riki dkk. 2007. Mudah dan Aktif Belajar Biologi. Bandung; Setia Purna         Inves.

Flodin, N.W. 1997. The Metabolic Rolos, Pharmacology, and Toxicology of Lysine. J. Amcoll Nutr. 16:7-12.

Gaman, P.M. dan Sherington. 1992. Ilmu Pangan. PAU Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Harrow, B. And Mazur  A. 1954. Biochemistry. Six Edition. W.B. Saunders Company: Philadelphia and London.

Jabri, E. 1995. Urease. (terhubung berkala)http://www.chom.uwec.edu(25 Maret 2012).

Ketaren, K.S. 1998. Teknologi Pengolahan Kedelai. Pustaka Sinar Utama, Jakarta.

Montgomery, R., R. L. Dryer, T. W. Conway and A.A. Spector. 1993. Biokimia Jilid 1. Edisi Keempat (Terjemahan: M. Ismadi and S. Dawiesah). GajahMada University Press., Yogyakarta.

Somaatmadja. 1964. Kedelai. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor.

Suhartono, M. T. 1989. Enzim dan Bioteknologi. Departemen Pendidikan dan       Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Antar Universitas             Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor.Yangel, O. 2004. Food Legume. Tropical           Product Institut, Lodon.

Wirahadikusumah, M. (1989). Biokimia: protein, enzim, dan asam nukleat. Institut            Teknologi Bandung. Bandung.

Wolf, W.J. 1975.Lipoxygenase and Flavor of Soybean Protein Products. J. Agr. Food Chem. 23 : 136-139

Woodroof, J.G. 1983. Peanut. The AVI Publishing Company, Inc, Westport, Connecticut.
Tags: enzim
Komentar

    FasaPay Online Payment System

    FasaPay Online Payment System

    Statistik
        36,735 hits

    FasaPay Online Payment System
    FasaPay Online Payment System
    Kategori

BIOSENSOR ELEKTROKIMIA

MAKALAH
KIMIA INSTRUMEN




BIOSENSOR ELEKTROKIMIA





DISUSUN OLEH

SUHENDRA ISKANDAR (H311 08 266)

MEITY JOLANDA KAROMA (H311 08 262)

AHMAD FADEL (H311 08 270)
















JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2011
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI….…………………………………………………………………………...i
BAB 1. PENDAHULUAN………………………………………………………………..1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………………2
BAB III. PENUTUP……………………………………………………………………….5
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………..6



                                                                               BAB I
                                                                      PENDAHULUAN

Biosensor elektrokimia sebagai bagian dari sensor kimia merupakan sensor kimia yang banyak diteliti dan dikembangkan oleh para ilmuwan. Biosensor elektrokimia sendiri didefinisikan sebagai suatu perangkat sensor yang menggabungkan senyawa biologi dengan suatu tranduser yang terbuat dari detektor elektrokimia. Dalam proses kerjanya, senyawa aktif biologi akan berinteraksi dengan molekul yang akan dideteksi yang disebut analit. Hasil interaksi yang berupa besaran fisik seperti panas, arus listrik, potensial listrik, atau lainnya akan dimonitor oleh transduser. Besaran tersebut kemudian diproses sebagai sinyal oleh signal processor elektronik sehingga diperoleh hasil yang dapat dimengerti.
Dewasa ini telah banyak dikembangkan biosensor elektrokimia karena keunggulannya yang dapat mendeteksi suatu analit secara spesifik layaknya sensor lain namun berharga relatif murah dibandingkan dengan sensor yang lain. Biosensor elektrokimia ini diharapkan di masa yang akan datang mampu menggantikan alat-alat sensor yang berharga sangat mahal.
Meninjau hal yang demikian, maka sangatlah perlu untuk mendalami dalam mempelajari biosensor elektrokimia. Berikut pada makalah ini akan dikaji mengenai prinsip kerja, bagian-bagian alat, dan manfaat pada kehidupan mengenai biosensor elektrokimia ini.







                                                                           BAB II
                                                                TINJAUAN PUSTAKA

Biosensor adalah suatu alat untuk mendeteksi keberadaan analit dengan menggabungkan komponen biologis dan komponen fisika yang melibatkan reaksi-reaksi biokimia. Biosensor pada prinsipnya terdiri dari tiga bagian utama, yakni (Aviga, 2010):
1. Elemen biologi, seperti enzim, asam nukleat, atau antibodi yang sensitif terhadap keberadaan analit.
2. Transduser atau elemen detektor, seperti detektor elektrokimia, pizoelektrik, atau optik, yang mengubah sinyal yang dihasilkan dari interaksi analit dengan unsur biologis (panas, arus listrik, potensial listrik, dan lain-lain) ke sinyal lain yang dapat lebih mudah diukur dan dihitung (sinyal elektrik).
3. Signal processor elektronik, yang terutama bertanggung jawab untuk memperkuat sinyal untuk menampilkan hasil.
Biosensor elektrokimia adalah biosensor yang menggunakan detektor elektrokimia pada transdusernya. Biosensor elektrokimia biasanya didasarkan pada katalisis enzimatik dari suatu reaksi yang memproduksi elektron. Substrat sensor biasanya berisi empat elektroda yakni elektroda acuan, elektroda aktif, elektroda tenggelam, dan elektroda sumber ion. Analit target yang terlibat dalam reaksi yang terjadi pada permukaan elektroda aktif dan ion-ion yang diproduksi menciptakan sebuah potensial yang memberikan sinyal. Kita dapat mengukur arus di potensial yang tetap di mana kuat arus sebanding dengan konsentrasi analit. Biosensor elektrokimia adalah biosensor yang sangat sensitif untuk jenis-jenis analit tertentu tergantung pada komponen-komponen biosensornya dan oleh karena itu sering digunakan (Aviga, 2010).
Elemen biologi pada biosensor elektrokimia biasanya dalam bentuk terimmobilisasi. Immobilisasi sendiri dapat dilakukan dengan berbagai cara, yakni (Suryana, 2010) :
1. Adsorpsi fisik.
2. Dengan menggunakan membran atau perangkap matriks.
3. Dengan membuat ikatan kovalen antara biomolekul dengan transduser.
Transduser pada biosensor elektrokimia ada yang menghasilkan sinyal berupa arus listrik dan ada pula yang menghasilkan sinyal berupa potensial listrik. Salah satu contoh biosensor elektrokimia yang terkenal adalah biosensor glukosa darah untuk monitoring penyakit diabetes mellitus di mana sinyal yang dihasilkan di transdusernya berupa arus listrik. Prinsip kerjanya yakni FAD (sebuah komponen dari enzim) mengoksidasi analit berupa larutan glukosa sehingga analit tersebut melepaskan dua elektron di mana oksidatornya sendiri yakni FAD tereduksi menjadi FADH2. Selanjutnya, larutan glukosa tereduksi kembali oleh elektroda dengan menerima dua elektron dalam beberapa langkah. Teroksidasinya glukosa menimbulkan arus listrik di mana kuat arusnya bergantung pada konsentrasi larutan glukosa (analit). Dalam kasus ini, elektroda adalah transduser dan enzim adalah komponen aktif biologis (Aviga, 2010).
Biosensor elektrokimia tidak hanya mempunyai jenis yang menghasilkan sinyal berupa arus listrik di transdusernya. Ada pula biosensor elektrokimia yang menghasilkan sinyal berupa potensial listrik di transdusernya. Salah satu contohnya adalah biosensor elektrokimia ESI-H2PO4- tipe tabung untuk deteksi anion H2PO4-. Berbeda dengan biosensor elektrokimia yang menghasilkan sinyal di transdusernya berupa arus listrik, biosensor elektrokimia yang menghasilkan sinyal di transdusernya berupa potensial listrik hanya terdiri dari dua elektroda yakni elektroda pembanding dan elektroda indikator. Ada dua jenis elektroda indikator, yaitu elektroda indikator logam dan elektroda indikator membran atau elektroda selektif ion. Biosensor elektrokimia ESI-H2PO4- tipe tabung sendiri memiliki elektroda indikator berupa elektroda selektif ion. Biosensor elektrokimia yang menggunakan elektroda selektif ion sekarang ini telah digunakan secara luas untuk pengukuran yang sederhana dan cepat dan ion-ion dari logam terutama dalam lingkungan dan klinik (Selpa, 2010).
Prinsip pengukuran dengan elektroda selektif ion adalah sebagai berikut. Potensial yang terukur adalah beda potensial antara elektroda selektif ion dengan potensial elektroda pembanding. Potensial yang dihasilkan oleh sel tergantung pada potensial yag dihasilkan oleh elektroda kerja. Pada umumnya, digunakan garam-garam yang tidak memberikan gangguan dalam pengukuran. Dalam larutan yang sangat encer, harga koefisien keaktifan mendekati 1 (ai = Ci) sehingga kedua garis akan saling berimpit. Jika pengukuran dilakukan dengan kekuatan ion yang sama, maka diharapkan larutan memiliki koefisien selektifitas yang sama, sehingga potensial sel yang terukur merupakan refleksi dari konsentrasi analit (Sokalski dkk., 1999).
Biosensor elektrokimia telah dipergunakan secara luas di berbagai bidang kehidupan. Misalnya pada bidang medis dan farmasi dipergunakan untuk mengontrol penyakit, diagnosis, studi efisiensi obat, dan lain-lain. Pada bidang medis untuk kontrol polusi, monitoring senyawa-senyawa toksik di udara, air, atau tanah, penentua BOD, dan lain-lain. Pada bidang pertanian untuk mengontrol kualitas tanah, mendeteksi keberadaan pestisida, dan lain-lain.





                                                                                 BAB III
                                                                               PENUTUP

Biosensor elektrokimia memiliki sensitifitas yang tinggi namun berbiaya relatif tidak terlalu mahal, maka biosensor elektrokimia ini sangat berpotensial untuk dikembangkan di masa mendatang.


















                                                                  DAFTAR PUSTAKA

Aviga, 2010, Biosensor, (http://www.doktermuda.com, diakses pada tanggal 1 Mei 2011 pukul 12.31 WITA).

Selpa, 2010, Skripsi Pembuatan ESI-H2PO4- Tipe Elektroda Tabung sebagai Sensor Potensiometrik untuk Deteksi Anion H2PO4- di Pelabuhan Tanjung Ringgit Kota Palopo.

Sokalski, T., Ceresa, A., Fibbioli, M., Zwickl, T., Bakker, E., dan Pretsch, 1999, Lowering the Detection Limit of Solvent Polymeric Ion-Selective Electodes 2 Influence of Compostion of Sample and Internal Electrolyte Solution, Anal. Chem., 71, 1210-1214.

Suryana, A., 2010, Biosensor, (http://www.warnadunia.com, diakses pada tanggal 1 Mei 2011 pukul 12.00 WITA.

Meningitis, Radang Selaput Otak dan Sumsum Tulang Belakang

Meningitis adalah salah satu penyakit yang menyerang otak. Salah satu penyebabnya adalah infeksi bakteri. Makanan juga tidak luput dari bakteri. Bahkan, makanan bisa menjadi penyebab timbulnya penyakit ini. Dari kebanyakan kasus, anak-anak yang berusia lima tahun lebih banyak mengalami penyakit tersebut ini. Berikut penjelasan selengkapnya seperti dilansir Mayo Clinic, Kamis (22/8/2013):

Deskripsi

Meningitis adalah sebuah kondisi ketika selaput (meninges) yang mengelilingi sistem saraf pusat, yaitu otak dan sumsum tulang belakang mengalami peradangan. Setelah itu, selaput tersebut akan membengkak. Memang, penyakit ini akan membaik dengan sendirinya dalam waktu beberapa minggu. Namun, bila dibiarkan begitu saja dan tidak melakukan pengobatan, penyakit ini akan menimbulkan komplikasi serius dan semakin lama akan semakin parah.

Jenis komplikasi yang mungkin akan muncul, antara lain gangguan pada pendengaran, kerusakan pada otak, gagal ginjal, syok, masalah pada memori, dan masalah berjalan. Selain itu, risiko kejang dan kerusakan saraf permanen akan terjadi bila tidak  melakukan pengobatan dengan cepat. Hal itu secara tidak langsung akan mengancam jiwa Anda.

Gejala

Tanda dan gejala dari penyakit meningitis dapat muncul dalam hitungan jam atau bahkan lebih dari satu atau dua hari. Tanda dan gejala ini dapat terjadi pada siapa saja, termasuk pada bayi yang baru dilahirkan. Namun, ada beberapa tanda yang berbeda antara bayi dengan orang dewasa yang telah menderita penyakit meningitis. Berikut beberapa gejala yang mungkin akan dialami oleh anak-anak (usia lebih dari dua tahun) dan orang dewasa yang telah mengalami penyakit ini:

    Mendadak demam tinggi
    Sakit kepala parah tanpa sebab yang jelas
    Leher kaku
    Mual atau muntah
    Sulit berkonsentrasi
    Selalu mengantuk dan sulit bangun dari tidur
    Sensitif terhadap cahaya
    Tidak nafsu makan dan minum
    Kejang
    Ruam kulit

Sedangkan, pada bayi yang baru lahir, mereka tidak akan mengalami sakit kepala. Mereka akan menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut:

    Demam tinggi
    Lebih sering menangis karena merasa tidak nyaman, terlebih ketika diangkat dari tempat tidur
    Sering mengantuk
    Sering marah
    Tidak aktif
    Lesu
    Pola makan buruk
    Terdapat tonjolan di ubun-ubun yang letaknya di atas kepala bayi
    Tubuh dan leher terasa kaku

Penyebab

Jenis penyakit ini biasanya timbul akibat adanya infeksi virus. Namun, bisa juga karena infeksi bakteri yang dianggap paling serius dan dapat mengancam jiwa. Selain itu, infeksi jamur juga bisa menjadi penyebab dari penyakit meningitis walaupun hal ini jarang terjadi. Biasanya, infeksi tersebut dapat menular dari satu orang ke orang lain, misalnya dari batuk, bersin, mencium, berbagi peralatan makan, sikat gigi, ataupun rokok. Hal itulah yang menjadikan penyakit ini dibedakan menjadi beberapa jenis sesuai dengan faktor penyebabnya. Berikut penjelasan selengkapnya:

1. Meningitis bakteri
Jenis penyakit ini dapat terjadi ketika bakteri masuk ke dalam aliran darah dan kemudian bermigrasi ke otak dan sumsum tulang belakang. Namun, bakteri tersebut bisa langsung menyerang meninges sebagai akibat dari infeksi telinga atau sinus, patah tulang tengkorak, atau setelah melakukan operasi. Ada beberapa jenis bakteri yang umumnya dapat menyebabkan penyakit meningitis, yakni:

    Streptococcus pneumoniae (pneumococcus)

Bakteri ini merupakan penyebab yang paling umum dari penyakit meningitis bakteri pada bayi, anak-anak, dan orang dewasa di Amerika Serikat. Jenis bakteri ini juga dapat menyebabkan penyakit pneumonia atau infeksi telinga atau sinus. Namun, Anda dapat mengurangi risiko terkena infeksi dengan melakukan vaksinasi.

    Neisseria meningitidis (meningococcus)

Jenis bakteri ini juga menjadi penyebab utama dari jenis meningitis bakteri lainnya. Penyakit meningitis yang diakibatkan oleh penyakit ini disebut dengan istilah meningitis meningokokus dan biasanya terjadi ketika bakteri hasil infeksi saluran pernapasan masuk ke dalam aliran darah. Jenis infeksi ini sangatlah menular dan umumnya dialami oleh remaja dan orang dewasa. Namun, Anda dapat mengurangi risiko terkena infeksi ini dengan cara melakukan vaksinasi.

    Haemophilus influenzae (Haemophilus)

Bakteri haemophilus influenzae tipe b (Hib) umumnya menyerang anak-anak dan menyebabkan penyakit meningitis. Namun, telah dibuktikan bahwa melakukan imunisasi rutin dengan vaksin Hib dapat mengurangi jumlah kasus dari jenis meningitis, khususnya di Amerika Serikat.

    Listeria monocytogenes (listeria)

Jenis bakteri ini dapat ditemukan dalam keju luna, hot dog, dan daging. Pasti Anda sering mengkonsumsi ketiga jenis makanan tersebut. Namun, untungnya, orang yang keadaan tubuhnya sehat bila terkena bakteri listeria tidak akan menjadi sakit. Tapi, bagi ibu hamil, bayi yang baru lahir, orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh lemah lebih rentan terinfeksi oleh bakteri ini. Jenis bakteri ini dapat melintasi penghalang plasenta dan bila sang ibu mengalami infeksi pada akhir kehamilan, hal itu dapat menyebabkan si bayi meninggal segera setelah lahir.

2. Meningitis viral

Jenis penyakit meningitis ini disebabkan oleh infeksi virus, seperti herpes simplex virus, HIV, gondok, virus West Nile dan lain-lain. Penyakit meningitis viral tergolong ringan dan dapat sembuh dengan sendirinya.

3. Meningitis kronis

Meningitis kronis dapat terjadi ketika organisme tertentu menyerang selaput dan cairan yang mengelilingi otak Anda. Berbeda dengan meningitis akut, penyakit ini akan berkembang lebih dari dua minggu atau lebih. Namun, tanda dan gejala yang ditimbulkan hampir sama dengan meningitis akut, seperti sakit kepala, demam, dan muntah.

4. Meningitis jamur

Penyakit meningitis yang disebabkan oleh jamur memang jarang terjadi. Namun, penyakit ini dapat mengarah kepada meningitis kronis. Penyakit ini tidak akan menular dari orang ke orang. Salah satu jenis jamur yang sering mempengaruhi orang dengan defisiensi imun, seperti AIDS adalah meningitis kriptokokus. Bila tidak segera diobati, yaitu dengan obat antijamur, penyakit ini dapat mengancam jiwa.

Penyakit meningitis juga dapat disebabkan oleh beberapa hal lain, seperti reaksi kimia, alergi terhadap obat, beberapa jenis kanker, dan penyakit inflamasi seperti sarkoidosis. Namun, masih ada beberapa hal lain yang turut meningkatkan risiko dari penyakit ini, yaitu:

    Melewatkan vaksinasi

Lakukan vaksinasi dengan teratur. Sebab, bila Anda sering melewatkannya, risiko meningitis akan lebih tinggi.

    Usia

Sebagian besar kasus meningitis virus terjadi pada anak yang usinya masih di bawah 5 tahun. Sedangkan, meningitis bakteri biasanya mempengaruhi orang-orang yang usianya masih di bawah 20 tahun.

    Kehamilan

Ibu hamil akan lebih berisiko tertular listeriosis, infeksi yang disebabkan oleh bakteri listeria yang juga dapat menyebabkan penyakit meningitis. Jika Anda hamil dan memiliki listeriosis, bayi yang ada dalam kandungan Anda ikut berisiko mengalaminya.

    Kondisi hidup

Orang yang hidup dalam lingkungan yang cenderung berdesak-desakan, akan lebih berisiko mengalami  meningitis meningokokus. Sebab, bakteri sangat mudah menyebar, misalnya melalui jalur pernapasan.

    Sistem kekebalan tubuh

Bila Anda menderita penyakit AIDS, diabetes, sering mengonsumsi alkohol, dan menggunakan obat imunosupresan, sistem kekebalan tubuh Anda akan melemah. Hal itu akan menyebabkan Anda rentan terserang penyakit meningitis. Selain itu, apabila Anda pernah melakukan operasi pengangkatan limpa, risiko terserang penyakit meningitis juga akan meningkat.

Dengan mengetahui faktor penyebab dari penyakit meningitis yang Anda alami dapat membantu Anda dalam menentukkan rencana pengobatan.

Pengobatan

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa penyakit meningitis bisa saja sembuh walaupun Anda tidak melakukan pengobatan. Namun, penyakit ini bisa juga berkembang menjadi lebih perah dan dapat menimbulkan komplikasi, seperti pada penyakit meningitis yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Hal ini sangat membutuhkan pengobatan antibiotik untuk mempercepat proses pemulihan. Bila Anda menunda pengobatan, hal itu akan meningkatkan risiko kerusakan permanen pada otak dan berujung kepada kematian.

Untuk memastikan apakah Anda positif menderita penyakit meningitis atau tidak, Anda harus memeriksakan diri ke dokter. Biasanya, dokter akan melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Ada beberapa jenis pemeriksaan untuk mendiagnosa penyakit ini, antara lain:

1. Tes darah

Dokter akan mengambil sampel darah Anda dari pembuluh vena dan kemudian sampel darah tersebut diuji di laboratorium. Dokter akan meletakkan sampel darah tersebut pada piring khusus untuk diperiksa di bawah mikroskop, apakah darah tersebut ditumbuhi oleh mikroorganisme atau tidak, terutama bakteri. Setelah itu, dokter mungkin akan menambahkan noda ke sampel darah tersebut dan kembali diuji di bawah mikroskop.

2. Tes pencitraan

Pilihan tes pencitraan, antara lain X-ray dan computerized tomography (CT) scan . Kedua jenis tes pencitraan tersebut dilakukan dari kepala, dada, atau sinus untuk melihat apakah terjadi pembengkakan atau peradangan. Jenis tes ini juga dapat membantu dokter untuk mendeteksi infeksi di daerah lain dari tubuh yang mungkin berhubungan dengan penyakit meningitis.

3. Spinal tap (pungsi lumbal)

Diagnosis definitif meningitis memerlukan analisis cairan serebrospinal Anda (CSF), di mana cairan tersebut dikumpulkan dengan melakukan sebuah prosedur yang dikenal dengan istilah spinal tap. Pada orang dengan meningitis, cairan CSF sering menunjukkan kadar gula (glukosa) rendah diiringi dengan peningkatan jumlah sel darah putih dan meningkatkan protein. Analisis CSF juga dapat membantu dokter mengidentifikasi bakteri yang tepat yang menyebabkan penyakit. Jika dokter Anda mencurigai meningitis virus, ia dapat memerintahkan tes DNA berbasis yang dikenal dengan istilah polymerase chain reaction (PCR) amplifikasi atau tes untuk memeriksa antibodi terhadap virus tertentu untuk memeriksa penyebab spesifik dari meningitis. Hal ini dapat membantu untuk menentukan perawatan yang tepat dan prognosis.

Selama melakukan pemeriksaan, dokter mungkin akan melakukan pemeriksaan fisik untuk melihat tanda-tanda infeksi pada kepala, telinga, tenggorokan, dan kulit di sepanjang tulang belakang. Jika Anda benar-benar mengalami penyakit meningitis, dokter pasti akan merujuk Anda untuk melakukan pengobatan. Pilihan pengobatan bergantung pada jenis meningitis yang Anda miliki. Berikut penjelasannya:

1. Meningitis bakteri

Jika Anda mengalami penyakit meningitis jenis ini, Anda harus melakukan pengobatan yang tepat, yaitu dengan menggunakan antibiotik intravena atau dengan obat kortison. Keduanya dapat membantu proses pemulihan sekaligus mengurangi risiko komplikasi, seperti pembengkakan otak dan kejang. Jenis antibiotik yang digunakan juga bergantung pada jenis bakteri penyebab infeksi.

2. Meningitis viral

Jenis meningitis ini tidak dapat disembuhkan oleh antibiotik. Namun, dari kebanyakan kasus, jenis penyakit ini dapat sembuh dengan sendirinya dalam beberapa minggu. Jika Anda mengalami hal ini, Anda harus banyak beristirahat, minum banyak cairan, mengkonsumsi obat yang dapat mengurangi demam dan meringankan nyeri pada tubuh. Namun, beda halnya jika penyakit meningitis yang Anda alami disebabkan oleh virus herpes. Sebab, sudah tersedia obat antivirus untuk menangani hal itu.

3. Meningitis jamur

Bila penyakit meningitis yang Anda alami disebabkan oleh jamur, Anda dapat mengobatinya dengan menggunakan obat anti jamur. Namun, obat ini memiliki efek samping yang serius. Sehingga, penggunaan obat ini hanya diperbolehkan sampai laboratorium memberikan konfirmasi bahwa penyebabnya adalaha jamur.

4. Meningitis kronis

Untuk jenis penyakit meningitis ini, pilihan pengobatan akan didasarkan pada penyebab yang mendasarinya.

Namun, bila dokter belum mengetahui penyebab dari penyakit meningitis yang Anda alami, dokter akan memulai pengobatan dengan menggunakan obat antivirus dan antibiotik di mana hal itu diterapkan hanya untuk sementara sampai penyebabnya diketahui dengan jelas.

Penyakit meningitis sebenarnya dapat Anda cegah dengan melakukan imunisasi dengan teratur. Ada beberapa jenis vaksinasi yang dapat Anda gunakan, yaitu:

    Vaksin haemophilus influenzae tipe b (Hib)

Jenis vaksin ini dianjurkan bagi beberapa orang dewasa, termasuk mereka yang memiliki penyakit sel sabit atau AIDS dan mereka yang tidak memiliki limpa.

    Pneumococcal conjugate vaccine (PCV7)

Jenis vaksin ini harus rutin didapatkan, khususnya bagi anak-anak yang berusia dua tahun hingga lima tahun yang berisiko tinggi terserang penyakit pneumokokus, menderita penyakit jantung kronis, paru-paru, bahkan kanker.

    Vaksin haemophilus influenzae tipe b dan neisseria meningitidis serogrup C dan Y (Hib-MenCY)

Vaksin ini dianjurkan untuk anak-anak yang usinya lebih muda dari 19 bulan, tetapi tidak lebih muda dari 6 minggu, di mana mereka juga berisiko tinggi mengalami penyakit meningokokus. Vaksin ini diberikan dalam empat dosis yaitu pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, dan antara usia 12 bulan dan 15 bulan.

    Vaksin Pneumococcal polysaccharide (PPSV)

Anak-anak dan orang dewasa yang membutuhkan perlindungan dari bakteri pneumokokus dapat menerima vaksin ini. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit merekomendasikan vaksin PPSV untuk semua orang dewasa yang lebih tua dari 65 tahun, orang dewasa muda dan anak-anak yang memiliki sistem kekebalan tubuh lemah atau penyakit kronis seperti penyakit jantung, diabetes atau anemia sel sabit, dan bagi mereka yang tidak memiliki limpa.

    Vaksin meningococcal conjugate (MCV4)

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit merekomendasikan bahwa dosis tunggal MCV4 diberikan kepada anak-anak usia 11 sampai 12, kemudian suntikan penguat diberikan pada usia 16 tahun. Bila vaksin pertama diberikan antara usia 13 tahun dan 15 tahun, suntikan penguat dianjurkan untuk diberikan antara usia 16 tahun dan 18 tahun. Sedangkan, jika suntikan pertama diberikan pada usia 16 tahun atau lebih tua, tidak dibutuhkan suntikan penguat. Jenis vaksin ini juga dapat diberikan kepada anak muda yang berisiko tinggi terserang penyakit meningitis bakteri atau bahkan yang telah mengalaminya.

Tak hanya itu saja, ada beberapa cara sederhana yang dapat membantu Anda untuk mencegah penyakit meningitis, yakni:

    Mencuci tangan:Mencuci tangan menjadi cara yang sangat penting untuk dilakukan guna menghindari paparan dari agen infeksi. Sering-seringlah mencuci tangan Anda, namun dengan cara yang benar. Jangan hanya membilasnya dengan air, gunakanlah sabun. Sebab, jika tidak, kuman yang melekat pada tangan Anda tidak akan hilang.
    Jangan berbagi makanan, minuman, sedotan, peralatan makan, lip balm, atau sikat gigi dengan orang lain.
    Waktu beristirahat cukup
    Olahraga dengan teratur
    Mengonsumsi makanan yang sehat, terutama buah, sayuran, dan biji-bijian
    Ketika batuk dan bersin tutuplah mulut dan hidung Anda
    Ketika Anda sedang hamil, selektiflah dalam memilih makanan. Hindarilah daging, hot dog, keju lunak yang terbuat dari susu yang tidak dipasteurisasi, untuk mengurangi risiko listeriosis

Minggu, Januari 4

Kitab-Kitab Islam

Bagi Teman-teman yang mau download Kitab-kitab Para Ulama Islam, insyaAllah yang baik dan benar atas dasar dan  dalil-dalil yang ada di dalamnya.
Di sini : http://ashakimppa.blogspot.com

Sabtu, Januari 3

kitab imam syafi'i jilid 3

kitab imam syafi'i jilid 2

kitab imam syafi'i jilid 1 Terjemah